Daftar FAQ
Apa yang dimaksud istitha’ah dalam haji?
Istitha’ah atau mampu merupakan salah satu syarat wajib haji. Artinya, hanya mereka yang mampu yang diwajibkan melaksanakan haji. Konsep ini berlandaskan ayat Al-Qur’an yang artinya “(Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, (yaitu bagi) orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” (QS Ali Imran: 97).
Ulama membagi istitha’ah menjadi dua kategori. Pertama, mampu melaksanakan haji dengan dirinya sendiri. Kedua, mampu melaksanakan haji dengan digantikan orang lain.
Seseorang bisa disebut mampu melaksanakan ibadah haji dengan dirinya sendiri apabila memenuhi lima syarat sebagai berikut:
1. Kesehatan Jasmani
Ibadah haji adalah ibadah yang membutuhkan tenaga ekstra, sehingga kondisi tubuh harus benar-benar sehat dan memungkinkan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji. Orang yang lumpuh, tua renta atau memiliki penyakit permanen yang membuatnya tidak memungkinkan menjalani aktivitas manasik dan menempuh perjalanan jauh, tidak masuk kategori orang yang mampu menjalankan haji dengan sendiri, tapi hukumnya menyesuaikan kemampuan finansial yang dimiliki. Bila ia memiliki dana yang cukup untuk menyewa orang lain agar menggantikan hajinya, maka wajib dilakukan.
2. Sarana Transportasi yang Memadai
Bagi orang yang bertempat tinggal jauh dari Tanah Suci dengan jarak 2 marhalah (sekitar 81 km) atau lebih, sarana transportasi menjadi syarat untuk menunaikan kewajiban haji, baik dengan menyewa atau memilikinya sendiri. Ketentuan ini juga berlaku bagi orang rumahnya dekat dengan Tanah Suci, tetapi tidak mampu menempuh perjalanan menuju Tanah Haram dengan berjalan kaki. Dalam konteks jamaah haji di Indonesia, syarat kedua ini bisa diartikan memiliki biaya sewa pesawat dan alat transportasi yang dibutuhkan selama menjalani manasik.
Syarat sarana transportasi baru bisa ditunaikan setelah terjaminnya kebutuhan sandang dan pangan bagi dirinya dan keluarga yang wajib dinafkahinya, terhitung sejak keberangkatan sampai kepulangan. Demikian pula disyaratkan harta melebihi tanggungan utangnya serta harta yang wajib ditunaikan untuk membantu fakir miskin yang mengalami darurat sandang dan pangan. Dalam fiqih, membantu mereka hukumnya fardhu kifayah (wajib kolektif).
Dengan demikian, orang yang keluarganya terkatung-katung, tetangganya kelaparan atau utangnya menumpuk, tidak berkewajiban berangkat haji. Perlu kesadaran yang maksimal bahwa agama hanya mewajibkan haji bagi orang yang mempunyai ongkos pembiayaan haji setelah nafkah wajib dan tanggungan kepada orang lain terpenuhi, sehingga tidak berdampak mengorbankan hak-hak orang lain yang wajib ditunaikan (Syekh Abdullah bin Husain Thahir, Sullam Al-Taufiq, Kediri, Maktabah Al-Salam, h. 60-61).
3. Aman
Aman yang dimaksud adalah terjaminnya keselamatan nyawa, harta, dan harga diri seseorang, selama perjalanan dan pelaksanaan ibadah haji. Sehingga andai saja terjadi beberapa hal yang dikhawatirkan mengancam keamanan seperti peperangan, perampokan, cuaca buruk, atau wabah penyakit yang menghambat perjalanan menuju Tanah Suci, maka kewajiban haji menjadi gugur (Syekh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibari, Fathul Muin Hamisy Hasyiyah Ianah at-Thalibin, juz 2: 282)
4. Terjaminnya Keamanan bagi Perempuan
Dalam ibadah haji, syariat memberikan perhatian khusus bagi jamaah haji wanita. Perempuan yang akan melaksanakan haji disyaratkan harus didampingi suami, mahram, atau sekelompok wanita yang bisa dipercaya. Semangat dari ketentuan ini adalah untuk menghindari hal-hal mengkhawatirkan keselamatan nyawa, harga diri, dan hartanya.
Dalam konteks masyarakat kontemporer saat ini, jaminan keamanan terhadap perempuan selama haji semakin kuat. Di bawah sistem dan manajemen modern, mereka tidak hanya terlindungi melalui regulasi, tetapi juga seperangkat petugas keamanan dan kamera pengawas, baik saat di Indonesia maupun selama di Arab Saudi. Terlebih ketika perempuan tersebut berangkat secara rombongan, sebagaimana dilakukan jamaah haji Indonesia.
5. Rentang Waktu yang Memungkinkan untuk Menempuh Perjalanan Haji
Waktu haji yang terbatas membuat pelaksanaannya tidak seleluasa ibadah umrah. Sehingga, dalam syarat wajib haji, harus ada waktu yang memungkinkan untuk menempuh perjalanan dari Tanah Air menuju Makkah. Syarat ini juga umumnya relatif mudah teratasi dengan sarana transportasi udara di zaman sekarang, yang sanggup menempuh perjalanan dari Indonesia sekitar 10 jam saja.
Baca selengkapnya: 5 Tolok Ukur Seseorang Dikatakan Mampu Berhaji