Daftar FAQ

Bagaimana solusi persentuhan kulit lelaki-perempuan saat tawaf?

Dalam fiqih populer mazhab Syafi’i, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan bukan mahram punya konsekuensi membatalkan wudhu. Ketentuan ini menjadi persoalan bagi mereka yang hendak tawaf dengan suasana padat jamaah dan saling berdesakan. Dalam hal ini, fiqih memberikan setidaknya dua jalan keluar.

Pertama, intiqal madzhab atau berpindah mazhab di luar Syafi’i yang berpendapat bahwa bersentuhan kulit secara langsung dengan lawan jenis tidak berakibat membatalkan wudhu secara mutlak sebagaimana pendapat mazhab Imam Abu Hanifah; atau bersentuhan kulit dengan lawan jenis baru membatalkan ketika mengandung syahwat, sebagaimana pendapat mazhab Maliki.

Hanya saja, konskuensi dari pindah mazhab tersebut adalah keharusan mengikuti satu paket (satu qadliyah) dalam kasus wudhu. Artinya, jamaah haji atau umrah mesti mengikuti mazhab Hanafi atau Maliki, mulai dari syarat, rukun, hingga batalnya wudhu secara utuh, tidak boleh setengah-setengah. Praktik semacam ini cukup rumit, khususnya bagi masyarakat awam.

Kedua, mengikuti sebagian mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa persentuhan tersebut hanya membatalkan wudhu orang yang sengaja menyentuh (al-lâmis), bukan orang yang disentuh (al-malmûs). Pendapat ini tidak populer dan hanya diikuti minoritas ulama dalam mazhab Syafi’i.

Solusi kedua ini pernah dipaparkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Idhah fi Manasikil Hajj wal Umrah. Menurutnya, kondisi berdesak-desakan memang sebuah cobaan yang sulit dihindari bagi orang yang sedang tawaf. Meski demikian, jamaah mesti berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari persentuhan dengan lawan jenis yang bukan mahram. Dengan menganut pandangan ini, para penganut mazhab Syafi’i sebagaimana umumnya umat Islam Tanah Air tak perlu melakukan perpindahan mazhab.