Daftar FAQ

Apa itu miqat?

Dalam bahasa Arab, kata miqat merupakan bentuk isim makan dan zaman dari auqata-yûqitu yang berarti menetapkan waktu. Miqat secara istilah fiqih adalah tempat-waktu yang ditentukan untuk mulai mengerjakan ibadah haji atau umrah. Ada dua jenis miqat, yakni (1) miqat zamani yang berkaitan dengan batas waktu yang digunakan untuk haji atau umrah; serta (2) miqat makani yang berkaitan dengan batas tempat yang digunakan untuk mulai berihram atau niat haji atau umrah.

Batas Waktu

Miqat zamani bagi orang yang berhaji adalah rentang waktu mulai dari awal bulan Syawal sampai subuhnya hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah). Jika seorang yang ingin berhaji tetapi ihramnya tidak dilakukan pada bulan-bulan tersebut, maka ibadahnya hanya bisa disebut umrah, bukan haji.

Batas Tempat

Rasulullah saw telah memberikan tuntunan terkait miqat makani bagi siapa saja yang hendak melaksanakan haji atau umrah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i. “Dari Ibnu Abbas RA sesungguhnya Rasulullah SAW telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzulhulaifah, penduduk Syam di Juhfah, penduduk Nejd di Qarn, penduduk Yaman di Yalamlam, begitu juga termasuk orang-orang yang ingin berhaji dan umrah yang berasal dari tempat lain tetapi melewati daerah-daerah tersebut (maka miqatnya sama dengan daerah yang dilewati).”

Dari hadits di atas kita dapat menyimpulkan bahwa tidak semua jamaah haji memiliki miqat yang sama. Syihabuddin bin Naqib As-Syafii dalam Umdatus Salik wa Iddatun Nasik menjelaskan beberapa ketentuan-ketentuan miqat.

Miqat bagi penduduk Madinah terletak di Dzulhulaifah. Sedangkan miqat bagi penduduk Syam (Palestina, Syiria, Yordan), Mesir serta Maroko adalah di Juhfah. Sementara miqat penduduk Yaman adalah Yalamlam sedangkan penduduk Nejd berada di Qarn.

Bagi penduduk Iraq dan Khurasan, miqatnya berada di Dzatu Irq, akan tetapi yang paling utama adalah di Aqiq. Bagi jamaah haji sedang berjalan menuju Makkah maka miqat hajinya berada di Makkah sedangkan miqat umrahnya adalah adnal hilli (daerah yang lebih dekat dengan Makkah), yaitu  Ji’ranah, Tan’im, atau Hudaibiyah.

Bagi calon muhrim yang tempat tinggalnya di luar Makkah tetapi lebih dekat ke Makkah dari miqat yang telah disebutkan, maka miqatnya adalah tempatnya tersebut. Tetapi jika tempatnya lebih jauh dari miqat, maka yang lebih utama berihram di miqat.

Bagi penduduk Indonesia (sesuai buku Tuntunan Manasik Haji dan Umrah terbitan Kemenag), miqatnya disesuaikan dengan gelombang. Bagi jamaah gelombang pertama, miqatnya dimulai dari Dzulhulaifah (Bir Ali).

Sedangkan bagi jamaah gelombang kedua, miqatnya ketika berada di atas pesawat udara pada garis sejajar dengan Qarnul Manazil atau di Airport King Abdul Azis Jeddah (sesuai dengan Keputusan Komisi Fatwa MUI, tanggal 28 Maret 1980 dan dikukuhkan kembali pada tanggal 19 September 1981 tentang Miqat Haji dan Umrah) atau Asrama Haji Embarkasi di Tanah Air.

Bagi jamaah yang melanggar miqat, yakni ihram melewati batas miqat dan ia tetap ingin berhaji, maka ia diwajibkan membayar dam. Tetapi jika ia kembali ke miqat kemudian berihram sebelum memakainya untuk ibadah, maka gugurlah kewajibannya membayar dam.

Hasil Munas NU 2023

Munas Alim Ulama NU 2023 menyatakan bahwa penetapan miqat makani mengandung unsur ijtihadi-ta’aqquli alias membuka ruang untuk menambahkan tempat miqat lain. Hal ini relevan dengan konteks mutakhir ketika jamaah haji dan umrah tidak hanya berasal dari miqat-miqat di zaman Nabi, melainkan juga berasal hampir dari seluruh penjuru dunia. Apalagi, mereka yang datang dari dataran Asia, Afrika, Amerika, Eropa, dan sudut dunia lainnya itu mayoritas menggunakan transportasi udara, bukan darat.

Dari situ, ulama lantas memperluas beberapa miqat bagi jamaah haji yang belum memiliki miqat yang manshush (yang sudah ditentukan) untuk berihram dari tempat yang muhadzah (sejajar), yaitu tempat yang sejajar dengan miqat yang sudah manshush atau mengambil tempat yang berjarak dua marhalah (80+ km) dari Makkah.

Dengan demikian, jamaah haji yang mengarungi lautan atau menempuh jalan yang tak terdapat satu pun dari lima miqat di dalam rutenya, berihram ketika berada di lokasi yang sejajar dengan posisi miqat terdekat. Namun, jika sama sekali tidak dijumpai lokasi yang sejajar dengan miqat mana pun, maka orang tersebut berihram dari tempat yang antara jaraknya ke Makkah tidak kurang dari dua marhalah. Apabila persoalan itu menjadi sangsi (rancu dan ambigu) maka orang tersebut seharusnya benar-benar mencari dan menemukan tempat yang diduga sejajar dengan miqat-miqat itu.